Stadion La Patau, Karya Spektakuler di Areal Persawahan
SEPERTI sulit membayangkan sebuah stadion megah hadir di sebuah kabupaten. Tentu dengan pertimbangan biaya mahal. Lahan sih banyak, tergantung niat pemerintah mau bangun atau tidak.
Setahun diberi tugas sebagai jurnalis Tribun Timur di Bone, 2004, saya tak menyangka itu terjadi. Saya ikut bersaksi. Ide brilian sang bupati kala itu menghentak. Niatnya mau bangun stadion berkelas.
Benar, stadion yang belakangan diberi nama Stadion La Patau hadir. Stadion itu pernah menjadi arena liga utama Indonesia. PSM pernah menjadikan kandang menjamu rivalnya dari pulau Jawa.
Beberapa gelaran penting pernah dilakukan di stadion berkapasitas 15.000 penonton ini. Tak cuma itu, beberapa fasilitas olahraga juga hadir bersamaan. Di satu lokasi.
Perkantoran pun hadir. Area stadion kini jadi pusat kegiatan olahraga, bahkan jadi tempat wisata.
Banyak orang kini mengincar lokasi di tempat ini. Untuk tempat tinggal, atau untuk usaha. Harga tanah meroket. Banyak pelaku UKM menyambung hidup dengan hadirnya stadion ini.
Suatu waktu, Bupati H.A.M Idris Galigo yang kala itu didampingi Wabup HA Fahsar Padjalangi (kini Bupati Bone), bersama rombongan pemda dan sejumlah anggota DPRD setempat mengajak berkunjung ke areal persawahan di Mamajang.
Areal sawah itu cukup dekat dari jalan poros Watampone, ibukota Bone, ke Makassar. Tepat di samping kantor Pengadilan Negeri Watampone, sebuah jalan perintis berbatu menghubungkan ke areal sawah itu.
Di tengah persawahan, dari jauh terlihat sebuah lapangan bola dengan tiang gawang dari bambu. Sebagian rumputnya rapuh tergenang air. Beberapa titik berlumpur.
Meski dekat dari kota, cukup sulit mencapai lapangan itu. Separuh jalannya masih berlumpur. Jejeran rumah penduduk di seberang bernama Majang di sebelah lapangan itu tampak dari jauh.
Mengobrol dengan sang inisiator Bupati Idris Galigo, kala bertemu, saya dan beberapa rekan wartawan selalu setia sebagai pendengar. Diskusinya renyah. Ide beliau selalu mengalir.
Suatu waktu, kami diskusi lepas terkait rencana membangun stadion itu. "Dananya dari mana, Puang?"
Bupati Idris Galigo sehari-hari dalam sapaan khas Bone "Puang Deri" atau kadang disapa "Petta" sebagai gelar hormat turun temurun untuk bangsawan Bugis atau pemimpin.
Lugas beliau jawab, "Stadion memang mahal. Karena besarnya anggaran, maka kita bayar per tahun. Itu namanya dibayar dengan cara multi year. Hanya tiga tahun kita bayar ke investor. Beruntung kita ada investor yang mau talangi dananya dulu. Baru kita cicil."
DPRD sudah setuju. Dengan cara itu, Bone akan punya stadion megah. Melengkapi stadion Persibo yang sudah menua.
Kira-kira hampir dua tahun, tepatnya di 2006, GOR yang di dalamnya ada stadion dan kolam renang itu rampung. Sudah boleh digunakan.
Selama proses pembangunan, nyaris tiap pekan kami ke sana. Sekadar lihat-lihat. Beberapa warga juga datang. Mereka kagum. Ini jadi kebanggaan orang Bone.
Tak cuma fisiknya yang mewah, sebagian fasilitas didatangkan langsung dari Belanda, seperti lampu-lampu sorot penerang stadion.
Saat rampung, Puang Deri tak berpikir sendiri soal penamaan stadion. Beliau mengajukan salah satu nama stadion ke DPRD.
"Saya ajukan namanya, Stadion La Patau Matanna Tikka. Sementara dibahas di DPRD. Teman-teman ada usul nama yang lain?" ujar Puang Deri suatu saat di teras kantornya.
Sepanjang yang kami tahu, Puang Deri adalah orang yang sangat akomodatif soal usulan. Sejauh karirnya di politik, Puang Deri "jagonya" dalam hal menghargai bahkan menyenangkan orang lain.
Menulis namanya saja, beliau sangat koperatif. Saya cukup mahir menulis namanya, tak perlu panjang. Baik sebagai sumber berita atau penulisan dalam ucapan selamat di iklan-iklan media massa.
Nama lengkapnya, Haji Andi Muhammad Idris Galigo, S.H. "Kalau nama saya kepanjangan, tulis saja H.A.M di depan," katanya di awal-awal saya bertemu beliau. Akrablah kami dengan singkatan H.A.M Idris Galigo, S.H.
Entah karena usulan dari kami para wartawan, nama stadion dipenggal. Tentu saja akhirnya diputuskan di DPRD. Padahal, nama itu satu kesatuan yang utuh. Nama Raja Bone ke-16.
Kami menjawab tawaran Puang Deri. "Namanya terlalu panjang, Puang. Stadion La Patau saja bagus," kami sontak jawab.
Puang Deri lalu menimpali, "Okey, kalo begitu kita penggal nama panjang itu. Stadion kita beri nama La Patau. Lalu, GOR di sebelahnya kita beri nama GOR Matanna Tikka. Akan kita bahas lagi di DPRD. Saya yakin mereka setuju."
Stadion megah di era 2006 itu diresmikan. Warga berdatangan memadati lokasi.
Seiring berjalanya waktu, areal stadion menjadi pusat olahraga. Dari sisi ekonomi sangat positif. Sisi kiri kanan, depan samping, semua harga lahan melonjak drastis.
Tak lama setelahnya, kantor DPRD pun dibangun di sisi barat stadion. Beberapa kantor pemerintah juga hadir. Pelaku even seperti bertumbuh, karena sejumlah kegiatan penting juga digelar di tempat ini.
***
Nama La Patau dan Matanna Tikka sebenarnya adalah satu nama utuh. La Patau Matanna Tikka adalah Raja atau Mangkau Bone ke-16 (1670-1714).
Nama lainnya adalah Sultan Idris Azimuddin MatinroE Ri Nagauleng. Beliau adalah kemenakan dari Arung Palakka, Raja Bone sebelumnya.
Apapun nama stadion itu, yang jelas bahwa inisiatornya brilian. Tekadnya dahsyat. Stadion itu tak cukup jadi pusat olahraga di daerah itu. Tapi, Bone dikenal di persepakbolaan tanah air karena stadion ini.
Kini sang inisiator itu telah pergi untuk selamanya. Semua berduka mendengar kabar kepergiannya Kamis tadi malam. Termasuk saya yang selalu merasa bagian dari keluarga orang Bone. Dari pihak istri.
Selamat jalan Puang Deri. Allah akan selalu membukakan pintu surganya untuk orang baik sepertimu. Semoga amalannya diterima di sisi Allah SWT, diampuni dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya. Semoga senantiasa menjadi teladan bagi penerus bangsa ini. (*)
Batua, Makassar. Jumat 18 Desember 2020.
Komentar
Posting Komentar