Iklas sebagai Pebakti
IDUL kurban tahun ini, 10 Dzulhijjah 1437 (12 September 2016), saya dan keluarga tidak sempat pulang kampung sebagaimana kami lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Saya tak sempat merayakannya dengan orangtua, begitupun mertua.
Memang sepertinya ada sesuatu yang hilang, karena kami tidak biasa melakukannya di Makassar di mana kami berdomisili.
Meski demikian, saya dan tentu istri hanya sempat mengobrol dengan orangtua masing-masing, bersenda gurau sekaligus meminta maaf lahir bathin.
Sebagai orang kampung, ini tentu tidak biasa buat kami. Namun, harus kami jalani karena berbagai halangan yang mendera. Waktu libur sekolah anak yang mepet hingga kesibukan saya dan istri mencari kehidupan di kota.
Sedih tentu saja, karena hampir setiap orang perantauan selalu mudik di momen seperti ini, tak terkecuali saya, apalagi kedua orangtua masih hidup.
Namun, saya dan istri tak perlu berkecil hati, toh Idul Fitri beberapa bulan lalu kami masih sempat mudik dan berkumpul bersama dengan orangtua. Seperti biasanya, kamu salat id bersama orangtua saya selanjutnya silaturahmi ke rumah mertua.
Pagi kemarin, kami sekeluarga mulai merasakan salat ied bersama tetangga tentu setelahnya menikmati daging kurban pemberian tetangga.
Tak sempat mudik tentu cukup menyesakkan bagi kami, tak heran saat kumandang takbir, tahmid, dan tahlil sejak 9 Dzulhijjah membuat saya cukup menggidik dengan mata hampir sembab.
Namun, saya mulai menyadari mungkin itu bagian dari satu keikhlasan apa yang kami alami. Semoga meminta maaf lewat telepon sah adanya.
Insya Allah hari esok yang longgar, jika diberi panjang umur oleh Sang Khalik, kami dapat bersilaturahmi, bersimpuh, dan mencium keningnya.
Sebagai anak, tentu teladan Nabi Ismail sebagai pebakti orangtua menjadi pelajaran berharga di momentum hari kurban ini, sebutan anak muda sekarang sebagai momentum potong-potong sapi, kambing, dan sejenisnya.
Ismail merupakan simbol ketaatan di momentum idul kurban ini. Mungkin itu pula yang menginspirasi orangtua saya memberikan nama itu melekat pada penggalan nama diri saya.
Tentu saja saya sangat berusaha meneladani sembari mempelajari arti sikap pembakti dari diri Ismail itu, amin.
Dalam sejarahnya, Ismail tidak saja sebagai pembakti kepada orangtua. Tetapi, Ismail sebagai simbol keikhlasan dan kesabaran untuk diwariskan kepada manusia dalam memahami nilai-nilai hidup hingga saat ini.
Selain Ismail, ayahnya Nabi Ibrahim juga sebagai ikon atau tokoh sentral dalam sejarah idul kurban. Ketegaran Ibrahim untuk menyembelih Ismail atas perintah Allah lewat mimpi, juga sebagai pesan kuatnya nilai sebuah pengorbanan dan keiklasan seorang hamba untuk tidak menghamba pada duniawi selain kepada penciptanya.
Penyembelihan Ismail –atas kehendak Allah menggantinya dengan seekor hewan—tentu memiliki nilai dan falsafah hidup yang dalam dan pada akhirnya menjadi tuntunan bagi para muslim di muka bumi untuk tidak saja memaknai sebagai sebuah pesan keiklasan dan kesabaran.
Tetapi, membunuh sifat hewani yang kadang membelit melalui ego, keserakahan, dan sifat penghambaan terhadap harta dan sifat keduniaan lainnya.
Bahkan tidak itu saja. Penyembelihan hewan kurban juga membawa pesan saling menyayangi dan saling berbagi dari si kaya kepada si miskin, karena sesungguhnya tak ada batasan atas keduanya di hadapan Allah.
Idul kurban boleh dimaknai sebagai momentum pemaksaan (baca perintah) dari Allah bagi umatnya untuk mafum bahwa dunia hanyalah persinggahan dan seluruh yang melekat pada diri kita di dunia ini tidak akan kekal, baik harta benda, jabatan, bahkan istri dan anak yang disayangi sekalipun suatu saat akan berpisah.
Suatu saat dengan jiwa besar harus iklas dan rela melepaskannya meski itu sangat kita sayangi.
Pesan pengorbanan, keikhlasan, dan sabar sebagai pembakti kepada sang pencipta semoga terpatri dalam diri kita masing-masing, termasuk pribadi saya dan keluarga.
Mohon maaf lahir bathin#
Batua, 13 September 2016
Komentar
Posting Komentar