Puasa Bukan Soal Kuatnya Fisik dan Besarnya Badanmu
DI tengah tepekur, tiba-tiba saya meraba lengan dan beberapa bagian tubuh saya sembari menunduk. Usai Isya jelang Tarawih di Masjid Nurul Muttahid, Jl Toa Daeng 3 Makassar, beberapa saat lalu.
Pemaparan seorang ustad soal puasa di mimbar membuat saya tergelitik. Yah ceramah tarawih pertama, sang ustad tak hanya menjelaskan panduan. Tetapi juga hakikat orang berpuasa.
"Puasa itu adalah perkara Iman. Bukan soal kuatnya fisik atau besarnya badanmu. Kalau orang sudah beriman, maka pasti berpuasa apapun kondisi yang sedang menimpanya. Sekuatnya fisik jika tak beriman, maka puasa pun kadang dilalaikan," kata ustad itu dengan nada tandas.
Sontak saya bangkit. Lalu menunduk. Dulu pernah lalai, meski tak sering. Belum sempat menggantinya hingga tiba Ramadan tahun ini. Syukurlah masih sampai ke jenjang ini.
Fisik saya belum termasuk besar. Masih kategori sedang. Tapi fisik, satu kesyukuran karena jarang sakit. Alhamdulillah.
Di saat puasa dulu saya tetap beraktifitas seperti laiknya tak puasa. Tetap bekerja, bahkan olahraga sambil menunggu waktu berbuka. Di kampung, sebagai anak desa bahkan tetap ke kebun.
Benar kata ustad. Sering jumpa dengan orang yang fisiknya kuat tapi tak puasa alasan kerja dan berbagai alasan lain.
Sering pula melihat orang yang fisiknya remeh, namun tetap puasa di tengah aktifitasnya yang padat. Yah, ini soal iman.
Dalil seruan puasa memang ditujukan pada orang beriman. "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Agar kamu bertaqwa" (Al Baqarah: 183).
Orang beriman diserukan puasa untuk mencapai taqwa. Sebuah status tertinggi di depan Pencipta. Allah ta'ala. Jika sudah taqwa maka seluruh perintahNya termasuk amalan salih akan dikejarnya dan seluruh larangannya akan ditinggalkan.
Taqwa mengajak hambaNya untuk takut. Takut tak melakukan perintah, dan takut melakukan larangan.
Kategori taqwa memang harus dikejar. Tidak datang sendiri. Banyak chalenge yang harus dilewati untuk mencapai kategori taqwa ini. Aturan mainnya, kewajiban beristiqamah berdasarkan Alqur'an dan hadits.
Puasa di bulan Ramadhan tahun ini (masih kata ustad tadi) memberi kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri. Termasuk bagaimana menjadikan panutan puasa ini membiasakan berakhlak sama di bulan-bulan lainnya.
Beruntunglah yang masih diberi kesempatan di Ramadhan ini. Lihatlah kiri kanan kita. Boleh jadi beberapa jamaah yang dulunya sama-sama di masjid, atau sama-sama beraktifitas sudah menghilang. Orangnya tak ada lagi. Boleh jadi karena sudah meninggal.
Ramadhan tahun ini juga memaksa kita untuk mengingat kematian. Belum tentu sepenuhnya kita jalani. Karena mati.
Mungkin kita tuntaskan Ramadhan ini. Tapi belum tentu menggapai bulan Syawal berikutnya dan bulan-bulan seterusnya. Apalagi Ramadhan tahun depan. Kematian bagi orang bertaqwa tak lagi menakutkan. Karena punya modal. Punya tabungan akhirat.
Ketaqwaan juga bukan hanya soal hubungan manusia dan Tuhannya (Hablun Minallah). Tapi juga hubungan sesama manusia (Hablun Minannas).
Karena itu pula, kata ustad, upaya pertobatan kepada Allah ta'ala dan maaf memaafkan sesama manusia juga menjadi kewajiban saat memasuki Ramadhan. Bukan di Lebaran.
Menjalani puasa Ramadhan juga memaksa manusia untuk bersih fikiran dan hati. Bersih dari segala hal yang menghambat ketaqwaan.
Karena untuk mencapai taqwa, kukuhkan hubungan dengan Allah melalui taubat. Jalani perintahNya dan jauhi laranganNya. Pun kukuhkan hubungan sesama dengan minta maaf dan memaafkan.
Maaf lahir bathin. Semoga puasa kita lancar dengan Iman yang kukuh.
BATUA, 5 APRIL 2019
Komentar
Posting Komentar